![]() |
| Ujian Nasional 2013 |
Haruskah Ujian Nasional Diadakan?
Tidak terasa
perjalanan tahun akademik 2012/2013 sudah tiba di penghujung periode. Ujian Nasional
atau yang biasa di singkat dengan UN merupakan aktivitas yang dilakukan secara
rutin setiap akhir tahun pembelajaran untuk memastikan apakah siswa layak untuk
lulus sekolah sesuai kriteria standar kelulusan atau harus mengulang mata
pelajaran, khususnya di Indonesia. Ujian Nasional ini menjadi momen penentuan perjuangan
siswa selama bertahun-tahun duduk di bangku pendidikan. Di sinilah dilihat
indikasi keberhasilan siswa. Siswa yang tidak lulus dianggap gagal dalam
pembelajaran dan sebaliknya, siswa yang lulus dianggap murid yang pintar dan
berhasil dalam pembelajaran. Namun dengan melihat kenyataan yang terjadi di
lapangan, ada dua pertanyaan yang timbul, yaitu apakah memang betul Ujian
Nasional ini sudah benar menjadi tolak ukur keberhasilan pembelajaran atau sebuah
analisis yang keliru dan menjadi sebuah kesalahan yang fatal bagi dunia
pendidikan di Indonesia? Dan apakah ini pantas dilakukan kepada peserta didik?.
Kedua pertanyaan tersebut tentu menjadi pertanyaan dasar yang sangat penting
untuk dijawab demi pembaharuan dan kemajuan pendidikan di Indonesia pada masa
yang akan datang.
Ujian Nasional
bukanlah cara yang tepat dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pendidikan atau menguji kelayakan siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, karena pendidikan bukan sebuah kompetisi, bukan ajang uji atau
tes uji kelayakan siswa, akan tetapi proses pencerdasan kehidupan bangsa
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kegiatan ini hanya memicu
kelahiran generasi penerus bangsa yang sangat tidak berkualitas. Menjadikan
mereka manusia-manusia ahli plagiat, berlaku curang dan belajar membohongi
publik demi mencapai keinginannya, yaitu lulus agar dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, hampir semua guru selalu mengingatkan
kepada anak-anak didiknya untuk tidak menghalalkan segala cara dalam meraih
cita-cita. Hal lain yang paling memprihatinkan ketika Ujian Nasional diadakan
adalah tindakan sebagian guru yang memang sengaja mengirimkan kunci jawaban
kepada muridnya sebelum atau selama proses ujian sedang berlangsung. Meskipun peraturan-peraturan
ujian dibuat dan diawasi seketat mungkin, mereka tetap bekerja sama
menyelesaikan soal-soal ujian dengan cara guru mengirimkan siswa jawaban lewat
pesan singkat dan jelas perilaku tersebut bukan cerminan perilaku pendidikan
yang baik. Ini juga mengindiksikan bahwa pelaksanaan Ujian Akhir Nasional tidak
lain hanyalah sebatas formalitas, sebab yang sebenarnya ujian adalah guru
mereka, bukan siswa. Bukti adanya kerjasama antar guru dan siswa dalam Ujian
Akhir Nasioanal adalah adanya laporan orang tua kandung seorang murid yang
berinisial MAB siswa kelas 6 SDN 06 petang, Peanggarahan, Jakarta Selatan
kepada Komnas Perlindungan Anak tentang tindakan seorang guru yang mengumpulkan
siswanya beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan untuk membicarakan kesepakatan
dan mengatur strategi tempat duduk mereka ketika ujian nanti, di mana siswa
yang dianggap pintar diperintahkan untuk berbagi jawaban dengan anak-anak lain.
Oleh karena itu, setiap siswa membawa telepon genggam (Sri Endang Susetiawati,
2011). Sehubungan dengan kecurangan-kecurangan dalam ujian tersebut, sebenarnya
telah ada komentar dari Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh yang dimuat
dalam Koran Tempo edisi 17 April 2011 mengatakan bahwa guru yang mencoba
membantu siswa menjawab soal Ujian Nasional akan dipecat (Sandy Guswan, 2011).
Pernyataan tersebut tentunya mengarah pada dua hal, yaitu berupa ancaman
sebagai antisipasi tindakan dan peringatan untuk tidak mengulangi perbuatan
yang telah dilakukan sebelumnya.
Pada kasus lain,
lulusan Ujian Nasional dikhawatirkan akan terjaring ke dalam daftar nama-nama
koruptor, khususnya di Indonesia. Kenapa tidak? Seseorang akan merasa sulit
mengelak melakukan suatu kesalahan apabila sejak dini ia sudah melakukan atau
membiasakan diri berlaku curang meskipun itu hal-hal kecil, seperti yang
diungkapkan dalam sebuah pribahasa bahwa “Ala bisa karena biasa”. Nah, apa
hubungannya coba dengan Ujian Nasional? Dalam
proses penyelesaian Ujian Nasional siswa telah diajarkan bagaimana cara
membohongi publik secara sembunyi-sembunyi atau bekerjasama dengan orang lain
dalam melakukan suatu tindakan yang tercela dengan saling sepakat misalnya
siswa harus menjaga baik-baik jawaban yang telah ia dapatkan agar tidak
ketahuan oleh pengawas ujian. Ini menunjukkan bahwa ada kerjasama yang
terselubung dibalik penyelesaian soal-soal ujian. Cara seperti ini tentu
membiasakan siswa terus berlaku curang. Sebagai contoh konkretnya, gambaran dalam
iklan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menampakkan salah seorang siswa
menyontek lewat catatan kecil yang sengaja ia buat, kemudian beranjak dewasa
melanggar aturan lalu lintas lalu menyogok dan ketika menjadi seseorang yang
diamanahkan sebuah jabatan ia kemudian korupsi hingga akhirnya mendekam di penjara.
Catatan kecil yang dibawa anak tersebut tidak jauh beda dengan jawaban yang
diberikan oleh sang guru.
Selain itu, Ujian
Nasional yang berlangsung sekitar tiga sampai lima hari ini juga berdampak pada
psikologi anak. Mungkinkah pernah kita bayangkan bagaimana dampak Ujian
Nasional bagi anak yang tidak lulus? Jelas jiwanya terguncang mengingat
kegagalannya dalam ujian, karena pada umumnya anak-anak pada usia remaja itu kondisi
kejiwaannya masih labil. Khusus bagi anak berprestasi yang menjadi tumbal Ujian
Nasional bisa saja depresi ketika mengalami kegagalan ini. Bagaimana tidak?
Mereka disebut-sebut sebagai anak pintar bahkan cerdas gagal melewati ujian.
Perasaan sedih, kecewa dan malu akibat cemoohan orang-orang sekitar sudah
bercampur menjadi satu. Jadi, tidak heran jika ada di antara mereka yang lari
ke hal-hal negatif seperti minuman keras dan obat-obat terlarang. Kemudian,
bagi anak yang memang dianggap kurang dalam hal pelajaran akan merasa dirinya
pantas menerima kegagalan itu yang berujung pada sikap bermasa bodoh untuk
sekolah atau acuh tak acuh terhadap pendidikan.
Ujian Nasional juga
menunjukkan tindak ketidakadilan pendidikan terhadap siswa. Hasil perjuangan
siswa selama beberapa tahun menghabiskan waktu, uang dan tenaga untuk belajar bergantung
pada ujian yang hanya berlangsung selama tiga atau lima hari saja. Artinya,
pengorbanan mereka yang lumayan lama, mulai dari materi hingga tenaga mereka
tidak ada apa-apanya, terutama bagi mereka yang tidak lulus.
Dengan demikian,
Ujian Nasional tidak efektif diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia,
karena akan merugikan anak didik dan bermuara pada pencerminan
ketidakberhasilan pendidikan di Indonesia akibat banyaknya yang gagal melewati Ujian
Nasional. Padahal, dalam Undang-Undang telah jelas tertulis bahwa tujuan
pendidikan Nasional Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sangat
kontras dengan kenyataan pendidikan yang ada selama ini, di mana salah satu
penyebabnya ialah Ujian Nasional. Ujian Nasional tidak mencerdaskan anak, akan
tetapi membuat anak pandai berbohong, berlaku curang dan tidak sportif.
Sedangkan bohong, tidak sportif dan curang tidak tercatat dalam kontes
kecerdasan. Ketiga bagian tersebut termasuk dalam kategori krisis etika
pendidikan yang sama sekali tidak diharapkan. Jadi, ada baiknya jika mulai dari
sekarang Ujian Nasional dihapuskan. Dengan kata lain, cukup Ujian Nasional 2011
menjadi penutup ujian pembunuh karakter dunia pendidikan agar tidak lagi
terjadi kesenjangan pendidikan di negeri ini. Pendidikan akan jauh lebih sukses
tanpa Ujian Nasional, karena membuka peluang besar bagi siswa untuk terus
belajar dan melanjutkan pendidikan ke manapun mereka sukai tanpa ada rasa putus
asa, kecewa, sedih dan malu hanya karena gagal ‘lulus’ di Ujian Nasional. Begitupun
dengan guru, guru tidak akan lagi menyalahi kodratnya sebagai guru untuk
berlaku curang. Sekarang saatnya mengeluarkan mereka dari kekangan Ujian
Nasional.
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar